A. Aplikasi Sistem
B. Bimbingan Teknis Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Daerah.
C. Bimbingan Teknis DPRD
D. Kajian Pengembangan Kebijakan Terapan
Dasar Pemikiran
Pelayanan Publik merupakan pilar utama sasaran RPJMN 2010-2014 pada Prioritas I yaitu Reformasi Birokrasi. Pelayanan publik tidak hanya dimaknai sebagai perubahan Mindset aparatus pemerintahan dalam pelayanan, tetapi juga harus diikuti dengan perubahan sistem pelayanan publik kepada masyarakat dan transformasi budaya kerja pemerintahan. Ketiga hal tersebut harus berjalan simultan dalam rangka mencapai tujuan pelayanan publik sebagaimana amanah undang-undang. Pelaksanaan undang-undang Pelayanan Publik mewajibkan setiap lembaga penyelenggaran pelayanan harus melakukan berbagai tahapan kebijakan percepatan dan mengembangkan berbagai instrumen pendukung dalam mencapai pelayanan prima. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam proses perencanaan ini. Model dan sistem pelayanan yang responsif dan tepat akan mampu mendorong kinerja ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Maka, pemerintah daerah harus mulai melakukan kajian pengembangan pelayanan publik yang berbasis partisipatif masyarakat.
Dasar Hukum
Dasar Pemikiran
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan standar kinerja dasar bagi Pemerintah Propinsi dan Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar bagi warga negara. Laporan SPM wajib dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal urusan wajib sebagaimana tertuang dalam PP 65 Tahun 2005 (pasal 2) bahwa SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Ayat ini dipertegas dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa Rencana pencapaian SPM dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Hal ini ditegaskan secara teknis dalam Permedagri 79 Tahun 2009 pasal 6 ayat (4) bahwa Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM sebagaimana harus dituangkan dalam Renja SKPD, RKPD, KUA, PPA, RKA-SKPD dan DPA-SKPD. Upaya keseriusan pemerintah pusat dalam rangka mendorong percepatan penerapan SPM ini rupanya tidak berhenti sampai disini. Dalam jangka pendek, Tahun Anggaran 2014, kembali Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 27 Tahun 2013, tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, pada Lampiran Bab III.2 tentang Kebijakan APBD untuk Belanja Daerah bahwa belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan sistem jaminan sosial. Pelaksanaan urusan wajib dimaksud berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan. Permendagri ini secara tegas menyatakan bahwa SPM harus/wajib menjadi dasar dalam penentuan alokasi belanja daerah untuk urusan wajib pada Tahun Anggaran 2014 ini. Maka Pemerintah Daerah harus segera melakukan program-program percepatan penerapan SPM yang didahului dengan sebuah kajian.
Dasar Hukum
Dasar Pemikiran
PP 65 Tahun 2005 pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah untuk menyusun perencanaan danpenganggaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ayat ini dipertegas dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa Rencana pencapaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Hal ini ditegaskan secara teknis dalam Permedagri 79 Tahun 2009 pasal 6 ayat (4) bahwa Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM sebagaimana harus dituangkan dalam Renja SKPD, RKPD, KUA, PPA, RKA-SKPD dan DPA-SKPD. Untuk menindaklanjuti dan mempercepat pelaksanaan peraturan tersebut, pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, sampai-sampai dalam 3 tahun terakhir telah mengeluarkan 6 Surat Edaran Menteri terkait dengan percepatan pelaksanaan penerapan dan pencapaian SPM oleh pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah pusat secara serius mendorong adanya standar indikator jelas bagi pemerintah daerah dalam pelayanan dasar untuk masyarakat sebagai amanah dari Undang-Undang Dasar negara kita.
Pedoman teknis terhadap integrasi SPM dalam Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran pada Tahun Anggaran 2014 secara nyata sudah dilakukan melalui keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2013, tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, pada Lampiran Bab III.2 tentang Kebijakan APBD untuk Belanja Daerah bahwa belanja penyelenggaraan urusan wajib dimaksud berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan. Kata Telah ditetapkan ini mengandung makna bahwa SPM harus ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) dan dengannya SPM wajib diintegrasikan pada target capaian atas Perencanaan Pembangunan Daerah (RPJMD dan Renstra) dan selanjutnya dijadikan acuan/dasar dalam penentuan alokasi belanja daerah untuk urusan wajib pada Tahun Anggaran 2014 dan seterusnya.
Atas dasar pemikiran di atas, maka pemerintah daerah harus segera melaksanakan kajian penetapan target capaian SPM Daerah sebagai dalam penentuan Rencana Pembangunan dan Penganggaran di daerah, terhitung mulai Tahun Anggaran 2014.
Dasar Hukum
Dasar Pemikiran
Perkembangan pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko modern (mini market) di Kota Besar tak terbendung lagi. Perkembangan tersebut selain karena tuntutan masyarakat, juga sebagai bentuk kapitalisasi model perbelanjaan yang simpel, praktis dan higenis (sehat). Akan tetapi situasi dan perkembangan ini tentu berdampak terhadap eksistensi dan perkembangan pasar tradisional dan pedagang kecil, yaitu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang merupakan salah satu pilar dan urat nadi perekonomian rakyat di daerah. Maka, tak pelak berbagai protes dan halangan dari masyarakat atas kian manjamurnya pusat-pusat belanja dan toko modern ini terjadi di berbagai daerah. Maka, pemerintah daerah harus segera melakukan penataan dan penertiban terhadap perkembangan toko modern tersebut dan sekaligus harus memberikan ruang pemberdayaan dan perlindungan terhadap pasar tradisional dan pedagang kecil (pracangan), agar keduanya bisa tetap hidup berdampingan sebagai pilar perekonomian masyarakat.
Dasar Hukum
Dasar Pemikiran
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah cara perusahaan untuk menciptakan suatu keseimbangan antara tujuan-tujuan ekonomi perusahaan, lingkungan alam, dan sosial kemasyarakatan, dengan tetap merespon para pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders).
Konsep CSR tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainability Development. Pembangunan berkelanjutan merupakan pendekatan baru berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan saling tergantung antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan (yang selanjutnya sering disebut sebagai 3 pilar pembangunan berkelanjutan).
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa dunia usaha harus merespon CSR. Pertama, perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Kedua, perusahaan dan masyarakat seyogianya menjalin hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme. Sehingga, untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sudah sewajarnya apabila perusahaan memberikan kontribusi positif kepada lingkungan masyarakat guna menciptakan suatu harmonisasi.
Ketiga, CSR merupakan salah satu cara untuk mencegah dan menghindarkan terjadinya konflik sosial di masyarakat. Potensi konflik itu bisa saja lahir dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural ekonomi yang muncul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
Kebijakan Daerah (misalnya, Perda tentang CSR) terkadang malah menjadi sesuatu hal yang kontraproduktif. Sebab, di satu sisi daerah selalu berusaha untuk mencari investor dalam rangka menanamkan modalnya di daerahnya. Di sisi yang lain, karena terlalu banyaknya aturan dan menimbulkan cost yang besar, membuat investor malah enggan menanamkan investasinya dan memilih menanamkannya di tempat lain.
Survei Bappenas dan LPEM-UI (2008) menyebutkan beberapa penghambat investasi di Indonesia: biaya perizinan dan banyaknya Perda yang menghambat iklim investasi. Biaya izin usaha dan pajak di Indonesia dapatlah dibilang mahal, belum lagi ditambah dengan biaya-biaya informal agar perizinan segera tuntas. Kondisi ini sangat tidak bersahabat dengan dunia usaha, ditambah lagi dengan Perda CSR, maka beban perusahaan akan semakin berat. Tidak menutup kemungkinan perusahaan malah merelokasi usahanya dan tentunya Pemda yang akan mengalami kerugian.
Peran dari Pemda adalah terletak pada aspek pengawasan dan mengkaji sejauh mana manfaat yang dapat diberikan oleh perusahaan terhadap masyarakat setempat. Selain itu, perlu disadarai bahwa Pemda tidak memiliki kewenangan dalam mengatur program CSR dan menghimpun dananya, sebab program CSR merupakan wilayah internal dari perusahaan.
Maka perlu disusun sebuah kajian Master Plan tentang bagaimana sinergi pengelolaan dan pengembangan CSR agar memberikan win-win solution bagi seluruh stakeholders.
Dasar Hukum
Dasar Pemikiran
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa. Peran penting UMKM dalam perspektif antara lain: pertama, menjadi motor penggerak dalam peningkatan pendapatan perkapita dan bahkan dalam pemerataan pendapatan, kedua, dukungan dalam peningkatan PDRB makin signifikan, ketiga, peran UMKM dalam pembentukan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ketiga indikator tersebut di atas sebagi bukti bahwa peran UMKM dalam perekonomian nasional tidak diragukan lagi.
Meskipun peran UMKM dalam perekonomian bangsa sangat sentral, akan tetapi regulasi pendukung dan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan UMKM dirasakan masih sangat lemah. Berbagai kelemahan internal (SDM dan sistem manajemen) dan eksternal (akses permodalan dan pasar), sudah seharusnya menjadi acuan dasar pengembangan kebijakan pemerintah. Kenyataannya menunjukkan bahwa kebijakan di lapangan terhadap UMKM cenderung korektif atas kebijakan lain dan terkesan tambal sulam. Tidak ada masterplan program pengambangan UMKM yang sistematis, tepat sasaran dan berbasis pada kekuatan lokal yang dimiliki oleh UMKM di daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan Kajian Masterplan Pemberdayaan UMKM di Daerah.
Dasar Hukum